Baru saja Tanti dan Klino berdua melewati malam minggu ini. Sebuah warung tenda khas Klaten ternyata cukup membuat Tanti ketagihan menikmati hidangan yang sederhana. Sebenarnya makan ini cukup favorit di kalangan mahasiswa Jogja. Hanya di Jakarta aja orang gak begitu banyak tertarik. Mungkin karena namanya yang begitu radikal “Nasi Kucing”.
“Hayo Tan, kamu mau ngambil apa lagi?” dompetku masih kuat bayarin kok!!” Klino menantang karena melihat Tanti yang matanya terus berputar melihat tenda itu sambil mengunyah gorengan tempe yang tipis.
“Terus kamu kenapa gak makan lagi. Kan menunya masih banyak?”
“Sebenarnya makanan-makanan itu masih merangsang lidahku.” Kata Klino sambil menyambar ceker ayam yang tinggal 1 biji di atas piring plastik berwarna ijo tua. Melihat sikapnya yang tengil, Tanti mencubit perut Klino penuh manja. Dan Klino membalasnya dengan mengelus rambut Tanti penuh sayang.
Tadinya Tanti mengangap bahwa “Nasi Kucing” adalah warung biasa yang sama sekali tidak mengundang selera lidahnya untuk menikmati sajian disana. Ternyata nongkrong bersama Klino semunya berbeda. Tempat itu selalu menjadi kenangan yang indah.
Begitu juga dengan Klino. Tanti adalah sesosok perempuan yang mampu membuat dirinya bangun dari kemurungan. Semenjak jauh dari keluarganya, Klino sering terlihat murung. Bahkan sering tersinggung ketika ada temannya yang hanya hendak bercanda. Hanya Tanti yang mampu memberikan senyuman di wajahnya.
Tempat tinggal mereka terbilang sangat jauh, walaupun masih sama-sama di dalam kota. Butuh waktu satu setengah jam untuk ditempuh dari masing-masing tempat tinggal mereka. Tapi sayangnya Klino tidak punya kendaraan, hal itulah yang membuat mereka sering bertengkar. Bukan karena Klino tidak bisa menggunakan kendaraan atau tak mampu beli. Sejak kaka Klino, Aji, mengalami kecelakaan dan tewas seketika di tempat dalam drifting liar di sebuah jalan berliku di Jawa Barat, akhirnya mamanya melarangnya untuk membawa kendaraan apapun. Tapi dalam pertengakaran itu selalu Tanti yang mendominasi. Emosi yang menimpa Klino selalu kalah dengan rasa sayangnya kepada Tanti. “Saya gak keberatan kok ngunjungi kamu walau naik angkot. Mau gimana lagi dong, Tantiku?!” Kata-kata tulus itu seringkali terucap dari mulut Klino.
Beni adalah teman kampus Tanti. Seringkali mereka ditugaskan bersama oleh dosen pembimbingnya untuk melakukan sebuah penelitian. Sikap manja alami dan kecerdasan yang dimiliki Tanti, membuat Beni menaruh perhatian lebih. Beni adalah seorang fotografer kampus yang terkenal. Wajah tampan dan pewakan model yang dimilikinya membuat banyak wanita meliriknya dan tidak sedikit yang mengemis untuk diberikan sedikit ruang di hati Beni untuk cinta-cinta mereka. Tapi Beni bukan lelaki yang mudah jatuh cinta. Baru sekali ini saja Beni merasakan yang berbeda ketika dekat dengan seorang perempuan, Tanti. Baginya Tanti bisa memeberikan inspirasi bagi Beni ketika kreatifitasnya sedang buntu.
Senin sore tugas mereka baru saja selesai setelah dikerjakan dalam waktu yang cukup lama. Sifat perfectionis Tanti memberikan nilai tersendiri bagi Beni.
“Masih sore Tan. Mau hunting bareng gak?. Kebetulan saya bawa kamera nih.”
“Wah, aku gak ngerti sama sekali dunia foto. Pegang kamera besar juga belum pernah.” Jawab Tanti dengan malu-malu karena kegaptekannya.
“Nanti saya ajarin. Atau kamu yang jadi modelnya.” Saut Beni dengan muka mengejek.
“Menghina yah?!” Jawab Tanti sepontan sambil memukul pelan tangan Beni yang kekar.
Waktu tidak terasa. Dua jam sudah berlalu. Sementara Beni dan Tanti masih asik foto sana-sini. Dan sesekali Tanti berperan sebagai pengambil foto. Tapi hasil foto Tanti tidak setajam dan sebagus Beni. Setelah liat hasil jepretannya di view, sering kali Tanti manyun melihat hasil jepretannya acak-acakan. Kurang pokus ke, kurang terang, dan banyak lagi lainnya. Tapi Beni dengan sabar mengajari Tanti. Tanti begitu asik sore itu. Walaupun kadang teringat Klino sesekali.
“Kenapa saya inget kejadian tadi sore yah”. Pikir Tanti sambil tertawa aneh di depan cermin kaca kamarnya. “Asik juga yah belajar foto”. Setelah itu dia terdiam, tersenyum, dan sesekali memukul-mukul boneka kelinci yang selalu tidak lepas dari genggamannya. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Hanya dia yang tahu, tapi kelihatannya Tanti sedang memikirkan hal yang mungkin menggelikan, membahagiakan atau bahkan yang membuat hatinya berbunga-bunga.
Tiba-tiba Tanti terkejut dan terbangun dari lamunannya ketika Hp-nya berbunyi. Hati Tanti bergetar, dengan segera diangkat teleponnya. “Hallo, sayang. Sedang ngapain?” Besok kita ketemu di Kampus kamu yah, jam 10. Sebelum aku berangkat ke kantor. I love you.” Itu adalah Klino. Dia tidak berbicara panjang seperti biasanya.
“Ada apa dengan Klino?. Gak biasanya dia mau nemuin aku ke kampus. Apa ada yang penting yah?”. Tanti mendumel sendiri dengan raut muka yang penuh heran.
Keesokan harinya, Tanti duduk di sebuah taman Kampus tepat di depan gerbang masuk utama. Pandangannya yang kosong mengarah ke pot-pot bunga yang seakan memberikan warna akan kegundahan Tanti. Sejak dulu Tanti selalu datang lebih awal ketika janjian dengan seseorang. Apalagi dengan Klino. Dia lebih suka menunggu dari pada ditunggu. Tiba-tiba pundak Tanti ada yang nyentuh dari belakang. “Aa….(Panggilan sayang Tanti untuk Klino)”, spontan Tanti, kaget dan menengok ke belakang. Ternyata dia bukan Klino, melainkan Beni.
“Hi, sedang ngapain kamu sendiri di sini?.” Tanya Beni.
“Nunggu teman” Jawab Tanti.
“Ayo, masuk!” Ajak Beni sembari menarik pelan tangan Tanti yang secara spontan dia raih.
“Kamu duluan aja. Aku masih nunggu teman.” Jawab Tanti dengan muka murah.
Tidak lama setelah Beni beranjak, Klino datang dengan mengenakan pakaian yang dibelikan Tanti setahun yang lalu. Pakaian itu dibelikan saat Klino ulang tahun. Tiga hari setelah mereka menyatakan perasaannya masing-masing. Sebenarnya Klino tidak begitu suka dengan pakaian berwarna merah. Menurutnya warna merah terlalu mencolok. Lain halnya dengan Tanti. Warna merah itu menggairahkan.
“Sudah lama sayang?” Sapa Klino sambil meraih tangan kiri Tanti.
“Lumayan. Tapi tidak selama matahari mengelilingi Bumi.” Saut Tanti sambil manyun menggoda.
Lima menit sudah mereka larut dalam diam. Tidak ada satu katapun yang terucap dari mulut masing-masing. Tanti tidak mau memulai dengan pertanyaan yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Begitu juga Klino tidak berani memulai untuk berterus terang tentang apa yang hendak disampaikannya. Bagi Klino inilah saat-saat yang paling susah dalam hidupnya.
“Ada apa A?, kok kelihatannya resah banget. Katanya ada yang mau dikatakan.” Tanti memulai dengan nada berat.
“Aa bingung harus memulai dari mana. Aa takut salah ngomong.” Jawab Klino dengan nada serak tidak seperi biasanya.
Mendengar perkataan itu, Tanti makin penasaran dan takut. “Jangan-jangan kemarin Klino melihat saya sama Beni.” Pikir Tanti.
Akhirnya Klino memberanikan diri untuk menyampaikan apa yang selama ini dia rahasiakan. Tak lama
Air mata Tanti tak terasa mengalir deras. Tangannya yang mungil meremas erat jari-jari Klino, dan akhirnya nangis dipundak Klino.
“Kenapa Aa baru bilang sekarang? Kenapa begitu mendadak.” Tanya Tanti terpatah-patah.
“Sebenarnya rencana ini sudah 3 bulan yang lalu. Mamah sudah tidak mungkin lagi hidup sendiri. Aa kan anak laki-laki satu-satunya setelah Mas Aji meninggal. Mamah butuh seseorang untuk berbagi. Dan Aa bingung bagaimana mengatakannya. Baru sekarang Aa memberanikan diri untuk mengatakan ini semua.” Jelas Klino sambil mengelus rambut Tanti.
“Terus, bagaimana pekerjaan Aa yang disini?” Tanya Tanti.
“Aa sudah mengajukan surat pengunduran satu bulan yang lalu. Dan kemarin adalah hari Aa bekerja di sana.”
“Terus, di Bandung Aa mau kerja dimana?” Saut Tanti. Dia berharap semoga pertanyaan ini bisa menahan Klino satu atau dua minggu. Tanti sadar, selama menjalin hubungan dengan Klino, dia selalu egois. Apapun keinginannya, Klino harus mengikutinya. Sementara jarang sekali keinginan Klino dia ikutin.
“Aa tidak bekerja dulu. Aa melanjutkan S2 di sana. Mamah udah setuju dengan itu. Karena Aa dapat beasiswa dari council asing yang kerjasama dengan beberapa universitas di Bandung.”
“Ya, Tuhan! Andaikan Kau berikan kesempatan kedua kalinya bagiku untuk bersamanya, tidak mungkin sedikitpun aku membuat dia kesal. Akan kuberikan semua yang terbaik bagi dia.” Itulah sesal dan pengaduan Tanti setelah kepergian Klino. Dia tahu kesempatan itu tidak bakal kembali lagi. Klino begitu sempurna bagi Tanti. Selama menjalani hubungan, tidak pernah sedikitpun Klino menyinggung perasaan Tanti.
Tiga bulan sudah Klino meninggalkan Tanti. Tapi kehadiran Klino tidak pernah luput dari pikiran Tanti. Walaupun hari-hari Tanti sekarang diwarnai kehadiran Beni. Tapi tidak cukup sempurna untuk menghapus sosok Klino. Karena klino adalah the only one.
Minggu, 27 Desember 2009
Browse » Home »
Catatan Fidokan
» The Only One
The Only One
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
coz you are the only one....
hhohooo,,,,
orang bandung namanya kok klino!!!
jawa bangettttt
bandung mah jajang,atawa asp,atawa kabayan atuh!!!